Sumber : Google |
Pak Asep, demikian ia dijuluki, membungkuk membenahi
barang dagangannya. Dengan guratan-guratan tua di
keningnya, wajahnya tetap kelihatan bening. Sejak
setahun lalu kopiah putih selalu menghiasi kepalanya,
menutupi rambutnya yang seluruhnya telah berwarna
putih keperakan. "Alhamdulillah Jang, kadang-kadang
sepi kadang-kadang ramai," katanya menceritakan
usahanya dengan bibir terus tersenyum.
Dalam usia yang ke 67 ini Pak Asep ditemani istrinya
mengurus warung kelontong berukuran 3 kali 4 meter.
Pak Asep dan istrinya tidak dikaruniai anak. Diusia
yang senja mereka terlihat menikmati hidupnya. Toko
kelontong yang ada di depan rumahnya yang ada di
sebuah gang kecil di Bandung itu jadi satu-satunya
penopang kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
"Ini kenang-kenangan dari Mekkah, Jang," menunjuk ke
kopiah putihnya. Pak Asep dan Istrinya memang pergi ke
tanah suci tahun lalu. "Dari dulu Bapak pingin pergi
haji", lanjutnya. Hal ini membuatnya berkomitmen untuk
menabung sedikit-demi sedikit dari hasil penjualan
barang-barang di warungya. "Saya mah pokoknya niat
pingin sekali pergi ke tanah suci," lanjutnya.
Bertahun sudah tabungannya, sesekali dihitungnya
seekedar untuk makin menguatkan keinginannya. "Kurang
beberapa juta lagi, Nyi, cukup da, beberapa tahun
lagi, gak lama," katanya kepada istrinya. Senyum Pak
Asep dan Istrinya merekah. Terbayang ia bersama
istrinya akan berthawaf keliling mengucapkan talbiah,
labbaik Allaahumma labbaik. Saat-saat yang dimpikannya
bertahun-tahun, menyempurnakan rukun Islam, rindu di
hari tuanya mendekat kepada Sang Khalik.
Dalam hari-hari semangatnya berhaji itu, tiba-tiba
sampai di telinganya tetangganya masuk rumah sakit dan
harus dioperasi. Para tetangga sebenarnya iuran
mermbantu meringankan biaya rumah sakitnya. Tapi biaya
operasi memang mahal. Pak Asep tersentak.
Terbayang olehnya uang tabungannya untuk biaya haji
dapat membantu operasi tetangganya yang tak berpunya.
"Haji ibadah, sedekah juga ibadah, gak apa sedekahkan
uang kita untuk berobat, Ki," istrinya mendukung uang
tabungannya bertahun-tahun itu diberikan untuk biaya
tetangganya yang dioperasi di rumah sakit. "Kang,
terima ini ya, rezeki mah dari Allah, mungkin emang
lewat saya, biarlah ini jadi jalan makin dekat ku
Allooh, moga-moga cepet sembuh, kang," katanya sambil
menyerahkan amplop tebal uang tabungannya yang
berbilang tahun itu. Dipeluknya Pak Asep dengan erat.
Sedikit yang tahu ketulusan Pak Asep dan Istrinya ini.
Ketika dokter yang merawat temannya ini heran dari
mana ia bisa membiayai operasi yang mahal ini, maka
sampailah cerita tentang uang tabungan haji Pak Asep
ini. "Boleh saya dikenalkan sama Pak Asep, pak?"
sambut sang dokter terharu.
Ditemuinya Pak Asep dan istrinya. Dan ditemuinya
keteduhan seorang dermawan. Raut wajah yang kaya,
meski dalam kesederhanaan hidup. "Pak Asep, saya ada
rezeki, bolehkan saya ikut mendaftarkan Bapak dan
istri pergi haji bersama saya dan keluarga?" Sang
dokter menawarkan. Pak Asep dan istriya sejenak
berpandangan. Tak kuat lagi menahan haru, dipeluknya
dokter dermawan tadi. "Alloh Maha Kaya," ucapnya lirih
di telinga dokter.
Maka kakinya kemudian hadir di Baitullah, berhaji,
dengan karunia dan rezeki dari Allah. Pak Asep dan
istri seakan mereguk hidangan Allah yang sempurna,
buah dari kedermawanannya.
Kisah Pak Asep mungkin saja banyak terjadi kehidupan
kita. Pak Asep-Pak Asep lain pun telah menggores
hikmah kehidupannya sendiri. Atau bahkan telah pula
sering kita alami sendiri. Dan selalu saja sedekah
akan menyuburkan hati kita, memberkahi kehidupan kita.
Maka mengapa kita menunda sedekah kita?
Tag :
Hikmah
0 Komentar untuk "Naik Haji Karena Sedekah"